Diwilayah perairan Selat Lombok bagian utara, tinggi gelombang antara 1.25 - 2.5 meter atau sedang.. Sedangkan di perairan Selat Lombok bagian selatan, tinggi gelombang antara 4.0 - 6.0 meter atau gelombang sangat tinggi.. Sehingga warga harus lebih waspada saat beraktivitas di perairan Selat Lombok bagian selatan. Baca juga: Peringatan Dini Gelombang Tinggi NTB 27-28 Juli 2022, Ombak Sangat
Danmakruh jika posisi salah satu dari imam dan makmum lebih tinggi dari yang lain dengan tanpa ada keperluan, meski itu di dalam masjid. Kemakruhan ini berlaku jika tidak ada kebutuhan. Jika ada kebutuhan, misalnya agar suara imam didengar oleh makmum atau imam hendak mengajari makmum tata cara shalat yang benar, maka posisi tempat shalat imam
UstazJeje menjelaskan, terdapat hadis yang dapat menajdi sandaran pelaksanaan shalat Id dilakukan di rumah sebagaimana hadis riwayat Imam Bukhari. "Jika tidak dapat terlaksana shalat Id di lapangan ataupun di masjid dengan jumlah banyak, dengan merujuk kepada hadis Anas bin Malik yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Anas bin Malik memerintah
shalatberjamaโah di masjid bagi kaum laki-laki lebih baik dari pada shalat sendirian 4 Ibnu Rusyd : Bidayatul Mujtahid, Analisis Fiqh Para Mujtahid , , ( Pt Pustaka Amani Jakarta. 2007 ). h .465
. - Di Indonesia, pendirian rumah ibadah diatur oleh pemerintah. Mengingat Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki keberagaman agama, pengaturan ini dilakukan untuk menghindari konflik antarumat beragama. Pengaturan terkait tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum umat beragama, dan pendirian rumah ibadah. Pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus berdasarkan pertimbangan dan keperluan nyata dengan memperhatikan komposisi jumlah penduduk, termasuk dalam pendirian Antar Masjid pada Umumnya Salah satu pendirian rumah ibadah adalah rumah ibadah umat muslim yaitu masjid. Umumnya tidak ada aturan pasti jarak antara masjid satu dengan yang lain karena hal ini dikembalikan kepada peraturan desa setempat. Penentuan aturan ini melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan ulama. Namun, sebagian besar jarak antara masjid satu dengan masjid yang lain minimal adalah 500 meter. Adat istiadat, hukum sosial, dan kontrol kebijakan masyarakat juga memengaruhi keberadaan bangunan masjid. Baca juga Gaya Arsitektur Bangunan Masjid di IndonesiaPengaturan pendirian bangunan masjid memakai istilah kewenangan domisili sekitar. Kewenangan domisili sekitar mengacu pada kecenderungan masyarakat, izin membuat bangunan, dan ketersediaan tanah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Alquran. Membangun masjid meskipun berjarak dekat tetap dianjurkan selama dilandasi dengan takwa. Sebaliknya, apabila pembangunan masjid dilandasi untuk memecah persatuan umat, maka hukumnya adalah haram. Persyaratan Pendirian Rumah Ibadah Syarat yang dicantumkan dalam peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri dalam mendirikan rumah ibadah meliputi persyaratan teknis dan administratif, yaitu Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk atau KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota. Rekomendasi tertulis dari forum kerukunan umat beragama kabupaten atau kota. Referensi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
๏ปฟKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Masjid adalah tempat beribadah kepada Allah SWT seperti sholat, berdzikir, membaca al-Quran, dan lainnya. Selain itu kita tahu, bahwa masuk dan keluar dari masjid memiliki tatakrama tersendiri, hal itu tidak lain karena bentuk penghormatan kita kepada rumah sang dapat dipungkiri lagi, bahwa sesuatu yang tidak layak dilakukan di masjid sekarang malah sudah banyak terjadi. Contoh ramai-ramai di masjid, makan-makan, ngobrol hal-hal yang tidak berguna, tidur didalam masjid. Dan tidak jarang rupanya, hal-hal tadi juga malah menggangu kepada orang yang sedang sholat ataupun yang sedang menjalankan aktivitas ibadah yang lainnya. Akhirnya, banyak dari kalangan ta'mir masjid membuat sebuah peraturan yang melarang semua itu. Sampai-sampai ada dari sebagian orang yang sholat disana berkata "lebih baik saya ibadah dirumah dari pada dimasjid tapi tidak khusyu' karna terlalu rame".Selain itu, masjid sekarang juga banyak fungsikan untuk selain sholat. Misalnya; digunakan untuk tahlilan, haul, majlis ta'lim dan lain-lain. Dari hal-hal tadi terkadang membuat resah orang yang sedang sholat, karena tempat yang sempit dan mereka merasa terganggu. Dalam menyikapi masalah-masalah diatas menurut kaca mata fikih, sebenarnya bagaimanakah hukum ramai-ramai, ngobrol atau bercanda, makan-makan, dan tidur didalam masjid, kemudian bagaimana jika hal-hal tadi sampai mengganggu pada orang yang sedang sholat atau menjalankan aktivitas ibadah yang lainnya, dan apakah melaksanakan tahlilan, istighostah, pengajian al-Quran didalam masjid dilegalkan oleh syariat, mengingat masjid diwakafkan untuk orang sholat saja ?. Dan bagaimana jika perkara tadi dapat mempersempit dan mengagangu orang yang sedang sholat?. Pada dasarnya ramai-ramai di masjid seperti; ngobrol hal-hal yang tidak layak untuk diperbincangkan didalam masjid , makan-makan dan tidur hukumnya boleh hanya saja untuk dua contoh yang terakhir hukumnya bisa berubah menjadi haram ketika dapat mengotori masjid. Namun, ketika melihat masalah ini melewati kaca mata adab maka dianjurkan untuk menjahui prilaku tersebut karna termasuk min babi su'il adab prilaku yang jelek .Sebenarnya,3 prilaku diatas hukumnya boleh ketika memenuhi beberapa pertimbanagan sebagai berikuta jika semua prilaku tersebut tidak dilarang oleh ta'mir masjid, karna mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh ta'mir hukumnya wajib layaknya mematuhi perintah dan larangan dari sulthon atau imam. Ta'mir masjid setara dengan sulthon atau imam karena sama-sama termasuk ulil amri pengurus untuk ummat muslim .b jika prilaku-prilaku tersebut tidak mengganggu kepada orang yang sedang sholat. Adapun kalau mangganggu maka hukumnya makruh bahkan bisa haram ketika sampai menyakiti hati mereka . Sedangkan hukum menyelenggarakan pengajian, tahlil, dan acara-acara islam lainnya di masjid hukumnya boleh karna termasuk min babi imarotil masjid meramaikan masjid dengan ibadah , selagi tidak mengganggu pada manfaat awal dari masjid yaitu sholat. Adapun kalau acara-acara diatas dapat mengganggu pada orang yang sholat atau mempersempit tempat mereka maka hukumnya adalah makruh. Oleh; IbnuQusai Lihat Pendidikan Selengkapnya
Masjid Pangeran Diponegoro Komplek Balaikota Yogyakarta Oleh Ahmad Hasanuddin Umar * Disebagian lokasi tempat pelaksanaan ibadah shalat Ied, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, saya pernah menemukan tempat shalat Imam lebih tinggi dari tempat shalat makmumnya, nampaknya panitia menyengaja membuat panggung khusus untuk sang Imam, biasanya ini terjadi jika shalat Ied diselenggarakan dilapangan. Bagaimanakah sesungguhnya hukum meninggikan tempat imam dengan menggunakan panggung khusus saat sang imam memimpin shalat Ied atau shalat pada umumnyaโฆ??? Dalam kitab โAhkaam al-Imaamah wa al-Iโtimaam fii as-Shalaahโ karya Syeikh Abdul Muhsin bin Muhammad al-Muniif, di halaman 271 ada pembahasan tentang persoalan yang akan diangkat dalam artikel ini. Al-Imam as-Syaafiโiy dalam kitab al-Umm, juga para pendukungnya, seperti as-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab atau al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmuโ Syarh al-Muhadzdzab, termasuk ada riwayat Imam Ahmad yang disebutkan dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudaamah al-Maqdisiy. mereka semua memandang bahwa menjadikan posisi Imam lebih tinggi dari posisi makmum adalah sesuatu yang dilarang, berdasarkan beberapa dalil berikut ini ; 1. Hadis riwayat Hammam yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Kitab as-Shalah Bab al-Imaam Yaquumu Makaanan Arfaโ Min Makaani al-Qaum, dalam bahasa Indonesia artinya Posisi imam di tempat yang lebih tinggi dari makmum ; ุนููู ููู
ููุงู
ู ุฃูููู ุญูุฐูููููุฉู ุฃูู
ูู ุงููููุงุณู ุจูุงููู
ูุฏูุงุฆููู ุนูููู ุฏููููุงูู ููุฃูุฎูุฐู ุฃูุจูู ู
ูุณูุนููุฏู ุจูููู
ููุตููู ููุฌูุจูุฐููู ููููู
ููุง ููุฑูุบู ู
ููู ุตูููุงุชููู ููุงูู ุฃูููู
ู ุชูุนูููู
ู ุฃููููููู
ู ููุงูููุง ูููููููููู ุนููู ุฐููููู ููุงูู ุจูููู ููุฏู ุฐูููุฑูุชู ุญูููู ู
ูุฏูุฏูุชูููู. ุฑูุงู ุฃุจู ุฏุงูุฏ Artinya Dari Hammam bahwasanya Hudzaifah sedang mengimami masyarakat Mada`in di atas bangku panjang ditempat yang lebih tinggi, maka Abu Masโud menarik bajunya, dan ketika selesai melaksanakan shalat, Abu Masโud berkata; Tidakkah kamu tahu bahwa mereka dilarang untuk melaksanakan hal demikian shalat Imam ditempat yang lebih tinggi ? Dia menjawab; Ya, aku ingat ketika kamu menarik bajuku. HR. Abu Dawud Hadis ini jelas sekali menunjukkan adanya larangan meninggikan posisi Imam dari makmumnya, saat Huzaidah melakukannya, mengimami shalat ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya, maka Abdullah bin Masโud seketika mengingkarinya dan Huzaifah sendiri menyadari dan mengakui kesalahannya. 2. Hadis Ammar bin Yaasirโ radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Sunannya tepatnya dalam Kitab as-Shalaah pada Bab Posisi imam di tempat yang lebih tinggi dari makmum ; ุนููู ุนูุฏูููู ุจููู ุซูุงุจูุชู ุงููุฃูููุตูุงุฑูููู ุญูุฏููุซูููู ุฑูุฌููู ุฃูููููู ููุงูู ู
ูุนู ุนูู
ููุงุฑู ุจููู ููุงุณูุฑู ุจูุงููู
ูุฏูุงุฆููู ููุฃููููู
ูุชู ุงูุตููููุงุฉู ููุชูููุฏููู
ู ุนูู
ููุงุฑู ููููุงู
ู ุนูููู ุฏููููุงูู ููุตููููู ููุงููููุงุณู ุฃูุณููููู ู
ููููู ููุชูููุฏููู
ู ุญูุฐูููููุฉู ููุฃูุฎูุฐู ุนูููู ููุฏููููู ููุงุชููุจูุนููู ุนูู
ููุงุฑู ุญูุชููู ุฃูููุฒููููู ุญูุฐูููููุฉู ููููู
ููุง ููุฑูุบู ุนูู
ููุงุฑู ู
ููู ุตูููุงุชููู ููุงูู ูููู ุญูุฐูููููุฉู ุฃูููู
ู ุชูุณูู
ูุนู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู
ู ููููููู ุฅูุฐูุง ุฃูู
ูู ุงูุฑููุฌููู ุงููููููู
ู ููููุง ููููู
ู โ ููู ุฑูุงูุฉ ููุง ูููู
ููู- ููู ู
ูููุงูู ุฃูุฑูููุนู ู
ููู ู
ูููุงู
ูููู
ู ุฃููู ููุญููู ุฐููููู ููุงูู ุนูู
ููุงุฑู ููุฐููููู ุงุชููุจูุนูุชููู ุญูููู ุฃูุฎูุฐูุชู ุนูููู ููุฏูููู. ุฑูุงู ุฃุจู ุฏุงูุฏ Artinya Dari Adi bin Tsabit Al-Anshari telah menceritakan kepada saya seorang laki-laki yang pernah bersama Ammar bin Yasir sewaktu di Mada`in, ketika iqamat shalat telah dikumandangkan, Ammar maju untuk menjadi imam dan dia berdiri di atas bangku panjang, sementara para makmum berada di bawahnya, lalu Hudzaifah maju dan menarik tangan Ammar dan Ammar pun mengikutinya hingga dia diturunkan ditempat yang sejajar oleh Hudzaifah. Setelah Ammar selesai shalat, Hudzaifah berkata kepadanya; Apakah kamu belum pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda โApabila seseorang mengimami suatu kaum, maka janganlah -sekali-kali- dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat merekaโ, atau semisal ucapan tersebut. Ammar berkata; Maka dari itu saya mengikutimu tatkala kamu menarik tanganku. HR. Abu Dawud Dalam hadis ini jelas sekali bagaimana sahabat Hudzaifah mengingkari perbuatan Ammar bin Yaasir yang mengimami suatu kaum ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya, dengan mengutip perkataan Nabi yang berisi larangan tegas mengimami suatu kaum ditempat yang lebih tinggi dari mereka, dan Ammar pun mengakuinya, sebagaimana juga Huzaifah mengakui kekeliruannya ketika mengimami para makmum ditempat yang lebih tinggi saat dingatkan oleh Abdullah bin Masโud radhiyallahu anhu yang kisahnya disebutkan dalam hadis pertama. PENGECUALIAN SAAT IMAM BOLEH MENGIMAMI DITEMPAT YANG LEBIH TINGGI Larangan meninggikan tempat imam saat memimpin shalat ini menurut sebagian besar ulama tidak bersifat mutlak, ada pengecualiannya. Apa saja pengecualian yang dimaksudโฆ??? Diantara pengecualian yang membolehkan meninggikan tempat Imam, adalah jika tujuan dari perbuatan tersebut dalam rangka untuk memberikan pengajaran li qashdi at-taโliim kepada para makmum. Dalilnya adalah praktek Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam, yang pernah mengimami shalat ditempat yang lebih tinggi posisinya dari para makmum, daat itu beliau mengimami shalat diatas mimbar, sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Sahal bin Saโad berikut ini ; ุนู ุณูู ุจู ุณุนุฏ ุฑุถู ุงููู ุนูู ูุงู โฆููููููุฏู ุฑูุฃูููุชู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู
ู ููุงู
ู ุนููููููู ููููุจููุฑู ููููุจููุฑู ุงููููุงุณู ููุฑูุงุกููู ูููููู ุนูููู ุงููู
ูููุจูุฑู ุซูู
ูู ุฑูููุนู ููููุฒููู ุงููููููููุฑูู ุญูุชููู ุณูุฌูุฏู ููู ุฃูุตููู ุงููู
ูููุจูุฑู ุซูู
ูู ุนูุงุฏู ุญูุชููู ููุฑูุบู ู
ููู ุขุฎูุฑู ุตูููุงุชููู ุซูู
ูู ุฃูููุจููู ุนูููู ุงููููุงุณู ููููุงูู ููุง ุฃููููููุง ุงููููุงุณู ุฅููููู ุตูููุนูุชู ููุฐูุง ููุชูุฃูุชูู
ูููุง ุจูู ููููุชูุนููููู
ููุง ุตูููุงุชูู. ุฑูุงู ู
ุณูู
Artinya Dari Sahal bin Saโad radhiyallahu anhu ia berkata Aku melihat Rasulullah shallallahuโalaihiwasallam shalat di atas mimbar itu. Lalu beliau bertakbir, maka orang-orang pun bertakbir pula di belakangnya, sedangkan beliau masih di atas mimbar. Kemudian beliau bangkit dari rukuk, lalu turun sambil mundur sehingga beliau sujud di kaki mimbar. Kemudian beliau kembali pula ke atas mimbar hingga selesai shalat. Sesudah itu beliau menghadap kepada orang-orang lalu bersabda, Wahai sekalian manusia, aku melalukan ini supaya kalian semua mengikutiku, dan supaya kalian belajar cara shalatkuโ.โ HR. Muslim Dalam riwayat diatas, sangat jelas sekali, apa alasan dari praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengimami shalat diatas mimbar atau ditempat yang lebih tinggi dari makmum, coba perhatika oada bagian akhir hadis diatas, Rasulullah mengatakan โWahai sekalian manusia, aku melalukan ini supaya kalian semua mengikutiku, dan supaya kalian belajar cara shalatkuโ. Pengecualian bolehnya imam berada ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya, selain untuk tujuan pengajaran, ada catatan lain dari Ibnu Qudamah al-Maqdisi sebagai pengecualian tambahan, yang membolehkan seseorang mengimami shalat ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya. Menurut Ibnu Qudamah al-Maqdisiy dalam kitab al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharaqi yang ditahqiq oleh Syeikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy dan Abdul Fattah al-Halawiy, larangan meninggikan tempat Imam dari makmumnya ini berlaku selama terlepas dari 3 keadaan dibawah ini; 1. Selama Bukan untuk tujuan memberikan pengajaran kepada para makmum tentang tata cara shalat yang benar. catatan saya jika untuk tujuan pengajaran, maka imam boleh saja shalat ditempat yang lebih tinggi ; 2. Selama seseorang berniat dari awal permulaan untuk shalat sendirian ditempat yang tinggi, kemudian ditengah-tengah shalatnya ada orang bermakmum kepadanya ditempat yang lebih rendah darinya, catatan saya maka keadaan ini menyebabkan bolehnya seorang imam shalat ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya ; 3. Selama tidak dalam keadaan darurat karena sempitnya tempat shalat, atau tingginya posisi imam hanya sedikit, -misalnya hanya beberapa centimeter saja- catatan saya keadaan ini menyebabkan seorang imam dibolehkan mengimami shalat ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya. Demikian pembahasan mengenai hukum shalat imam ditempat yang lebih tinggi dari makmumnya saya dalam artikel ringkas ini, semoga bermanfaat, saya berdoโa semoga Allah subhanahu wa taโaalaa senantiasa memberikan keberkahan, taufiq dan keselamatan kepada kita semua, dan kepada seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada. KESIMPULAN AKHIR 1. Seorang Imam tidak boleh dengan sengaja mengimami shalat jamaโah ditempat yang lebih tinggi dari tempat makmumnya. 2. Larangan ini tidak berlaku jika a. imam bertujuan memberikan pengajaran kepada orang yang belum tahu bagaimana tata cara dan gerakan shalat yang benar ; b. Tidak ada niat untuk menjadi Iman dan mengimami shalat ditempat yang lebih tinggi, tapi ditengah shalatnya tiba-tiba ada orang yang bermakmum kepadanya ditempat yang lebih rendah ; c. Karena keadaan darurat seperti tempat yang sangat sempit yang tidak mungkin dilakukan shalat berjamaโah kecuali jika imam terpaksa shalatnya ditempat yang lebih tinggi. [] AHU. *** *** Miliran ; Rabu, 08 Dzul Hijjah 1438 H * Penulis adalah Pengajar Bahasa Arab di P2B UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengajar Ushul Fiqih dan Ilmu Maqashid as-Syariโah di STIKES Surya Global Yogyakarta, Pengajar Ushul Fiqih dan Ulum al-Qurโan di Ponpes Mahasiswa Taqwiin al-Muballighiin Yogyakarta, Khadim Masjid Pangeran Diponegoro Komplek Balaikota Yogyakarta. Tentang Ahmad Hasanuddin Umar Saya lahir pada tanggal 28 Jumadal Akhirah 1399 H bertepatan dengan 25 Mei 1979 M, di kampung Rawailat Desa Dayeuh kecamatan Cileungsi Bogor, dilingkungan keluarga yang alhamdulillah cukup religius, rumah tempat dimana saya dilahirkan, sekaligus berfungsi sebagai pesantren kecil, ada Masjid Jami' an-Nur juga Madrasah Diniyah an-Nur. Suasana keagamaan dilingkungan sekitar rumah sangat membekas dalam memori saya, setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Rawailat, sekaligus di Madrasah Diniyah An-Nur Rawailat, saya melanjutkan Pendidikan di Madrasah Tsanawiyah An-Nizhamiyyah Cileungsi asuhan Drs. KH. Ahmad Marzuqi, setamat Tsanawiyah saya melanjutkan pendidikan ke Jawa Timur tepatnya di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar pimpinan KH. Ibrahim Thoyyib, setelah belajar selama kurang lebih satu tahun di Ponpes Wali Songo, kemudian saya pindah ke Pondok Modern Darussalam Gontor, hingga tammat sampai tahun 1998/1999, dalam asuhan Dr HC. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, beserta KH. Hasan Abdullah Sahal dan KH. Shoiman Lukmanul Hakim. Setamat dari Gontor, saya menjalani masa pengabdian mengajar dan melanjutkan belajar menghapal al-Qur'an di Ponpes Darul Abrar Bone Sulawesi Selatan yang diasuh oleh KH. Anwar Harum, Lc dan Dr. KH. Muttaqien Said, MA, hingga bulan Juni tahun 2000. Pada tahun yang sama saya mendaftar kuliah di LIPIA dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan akhirnya saya berlabuh di UIN Jogja, mengambil Jurusan Tafsir Hadis, setelah selesai dari UIN, saya mengikuti program Akta IV di UII Universitas Islam Indonesia setelah selesai saya menempuh kuliah S1 lagi di MEDIU Medinah International University pada jurusan al-Qur'an wa Ulumuhu, sambil juga mengambil kuliah S2 Program Pascasarjana konsentrasi SQH Studi Qur'an dan Hadis. Saat ini, selain ikut terlibat mengelola Travel Haji & Umrah Lฤ Raiba, sekaligus sebagai pembimbing ibadah umrah, aktifitas sehari-hari saya ngajar di Ponpes Mahasiswa Takwฤซn Muballighฤซn, dan mengasuh kajian rutin di Majlis Kajian Kitab di masjid-masjid seputar Yogyakarta. Saya tinggal di Yogyakarta tepatnya di Bantul, bersama seorang istri dan 6 orang anak kami, Najwa Salma Hasan, Faruq Abdullah Hasan, Musa Abdullah Hasan, Bilal Abdullah Hasan, Naqiyya Sฤjidah Hasan, dan Najiyya Sฤjidah Hasanโฆ.[]
JAKARTA - Peradaban Islam tak hanya meninggalkan desain lengkung. Namun, ada pula bangunan yang menjadi simbol pencapaian peradaban Islam, yaitu menara. Biasanya, bangunan menara ini menyatu dengan masjid. Ini tak sekadar bangunan, namun ada sistem nilai yang melandasinya. Dalam peradaban Islam, menara, terutama menara masjid, muncul saat peradaban awal Islam, yaitu saat masa-masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya di Madinah. Ini bermula bagaimana cara mengumandangkan panggilan shalat bagi umat Islam saat itu, biasanya panggilan shalat dilakukan di jalan atau di atap rumah-rumah yang tinggi. Seiring berkembangnya waktu dan berpikir mengenai efektivitas, kemudian muncullah pemikiran untuk membangun sebuah menara masjid. Keberadaan menara kemudian memang tak hanya berfungsi untuk mengumandangkan azan. Namun, juga untuk menyampaikan pengumuman kepada umat Islam. Sebab, masjid tak hanya sebagai tempat shalat, tetapi tempat kegiatan lainnya, seperti kegiatan sosial dan Islamic Culture Foundation, Cherif Jah Abderahman, pernah menyatakan, menara ini tak hanya sebuah bangunan. Namun, ini merupakan simbol yang merangkum sistem nilai, pengetahuan, dan tradisi dalam cara yang sama, terkait dengan menara, umat Islam juga berupaya dan bekerja meletakkan fondasi ajaran Islam dalam membangun peradaban dan arsitektur. Arsitek Muslim terus berupaya mengatasi masalah teknik dengan melahirkan beragam bentuk sinilah, kemudian lahir bentuk-bentuk menara masjid yang lebih tinggi, indah, dan signifikan. Tentu, disesuaikan dengan kebutuhan. Abderahman mengatakan, terkadang masyarakat Barat sekarang ini tak memahami bagaimana mestinya menafsir keberadaan menara bangunan yang mewujud mengantarkan sebuah makna. Ia juga melambangkan sebuah simbol dan kehadiran. Demikian pula dengan bangunan sebuah menara. Dalam peradaban Islam, menara melambangkan kehadiran sebuah kesadaran kolektif umat manusia, sejak masa awal, konsep superioritas dan rasa unggul masuk ke dalam relung hati mereka. Maka kemudian, muncul banyak menara di setiap negara yang menyimbolkan perasaan itu dan tentu menunjukkan hasil sebuah melacak sejarah, semua bisa melihat menara-menara di Italia yang menandakan adanya rivalitas di antara kota-kota yang ada di sana. Lihat pula Menara Eiffel dan gedung-gedung pencakar langit yang ada di New York yang menjadi penanda kekuatan teknologi.
hukum rumah lebih tinggi dari masjid